Berita  

Tanggapi Sepatu Kotor Jokowi, Greenpeace: Paru-Paru Warga Lebih Kotor

Sepatu Kotor Jokowi

Ngelmu.co – Potret sepatu kotor Jokowi yang diunggah oleh Sekretaris Kabinet RI, Pramono Anung, di akun Instagram pribadinya, @pramonoanungw, Selasa (17/9) lalu, memang menuai kontroversi. Tak terkecuali bagi salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Lingkungan Global, Greenpeace.

Tanggapan Greenpeace Tentang Sepatu Kotor Jokowi

Greenpeace mengatakan, gambar sepatu kotor Jokowi, Wiranto, Basuki, dan Pramono, sebelum serta sesudah kunjungan ke daerah terdampak Karhutla, tidak lebih kotor dari paru-paru warga setempat.

Hal ini disampaikan oleh Juru Kampanye Greenpeace, Arie Rompas. Ia menyindir soal riuhnya komentar terkait sepatu kotor Jokowi.

Menurutnya, paru-paru masyarakat jauh lebih kotor, karena harus menghirup udara beracun, dampak Karhutla.

“Yang harus dipikirkan adalah bagaimana paru-paru masyarakat yang hidup di sana menjadi kotor karena dia (Jokowi) tidak menangani kasus kebakaran hutan tersebut dengan tindakan yang serius,” tegas Arie, seperti dilansir Tirto.id, Ahad (22/9).

Ia pun menegaskan, seharusnya Jokowi tak hanya melakukan kunjungan langsung, tetapi juga harus berani memberikan sanksi tegas, kepada perusahaan-perusahaan yang membakar hutan dengan sengaja.

“Ya, kalau Jokowi ke sana hanya foto-foto ya, itu kemudian menyakiti korban-korban asap yang selamanya sudah terpapar,” kata Arie.

Sedangkan, menurutnya, sejak 2015, belum ada sanksi tegas terhadap kasus Karhutla. Pencabutan izin dari pemerintah, misalnya. Agar peristiwa serupa tak terjadi lagi ke depannya.

“Makanya, pemerintah seharusnya, sejak dari 2015, sudah mempublikasikan perusahaan-perusahaan mana yang melakukan pembakaran,” tutur Arie.

“Dan publik juga jadi tahu siapa perusahaannya, termasuk, bagaimana progres penanganan dari kebakaran hutan dan lahan,” sambungnya.

Data BNPB

Di sisi lain, kehadiran Jokowi ke wilayah Karhutla, dianggap tak banyak membawa dampak positif.

Meskipun berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), ada penurunan titik panas yang terjadi belakangan ini.

Meskipun data Sabtu (21/9) pukul 08.00 WIB, ditemukan 2.766 titik panas, dari sebelumnya, 4.012 titik panas, pada Sabtu (14/9).

Namun, dampak karhutla tetap tidak bisa dikatakan menurun. Karena perhitungan titik panas tersebut, dilakukan melalui pantauan satelit.

Dalam kata lain, ketika kondisi kabut asap semakin pekat, maka titik api pun tak lagi terlihat dari satelit.

“Dari sisi hotspot menurun, karena ada hujan, sehingga sebagian titik api jadi asap. Makanya, asap malah tambah banyak, mengakibatkan kualitas udara juga turun (semakin buruk),” kata Plt Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Agus Wibowo, Sabtu (21/9).

Peningkatan kabut asap juga disebabkan oleh menjalarnya titik kebakaran yang masih terjadi, khususnya di lahan gambut, api masih menyebar dari lapisan bawah.

“Susah dipadamkan,” tegas Agus.

Kualitas udara pun berada di tingkat berbahaya, salah satunya di Palangkaraya.

Berdasarkan data Air Visual, Kamis (19/9) siang, Air Quality Index (AQI) polusi Palangkaraya berada di angka 1057.

Sementara pada Jumat (20/9) siang, berada pada angka 451, di mana standar Air Visual, 301-500 ke atas, artinya berada pada kondisi udara berbahaya.