Apanya yang Tak Lazim, Pak SBY?

Ngelmu.co – Beredar surat dari Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mempertanyakan ketidaklaziman kampanye 02 di Gelora Bung Karno (GBK), Ahad (7/4). SBY menganggap kampanye tersebut tidak inklusif. Saya tahu arahnya ke mana, yakni adanya Tahajud bersama, Subuh berjamaah, dan lantunan sholawat. Nah, dalam hal ini saya ingin membahas dua poin yakni:

  1. Kenapa sampai terjadi ketidaklaziman kampanye?
  2. Dan apa yang dimaksud dengan kampanye tidak lazim serta tidak inklusif?

Kampanye ini dianggap SBY tidak lazim, karena adanya Tahajud, Subuh berjamaah, dan sholawat dalam run down acara. Dari pengalaman gerakan 212, saya ingin mengatakan ketidaklaziman ini dimulai dari adanya pihak yang tidak ingin acara sukses.

Gerakan 212 diupayakan tidak sukses, dengan mencegah bus mengangkut penumpang dari luar kota. Ada aksi ada reaksi. Alih-alih mencegah, justru reaksi santri Ciamis yang memutuskan untuk jalan kaki long march Ciamis-Jakarta, malah menjadi stimulus bagi tidak terbendungnya lautan massa ke Monumen Nasional (Monas). Saya haqqul yakin, andai tidak ada stimulus santri Ciamis, peserta 212 tidak akan sebanyak itu.

Sekarang, kampanye 02 diusahakan tidak sukses juga, dengan memberikan alokasi waktu kampanye yang tidak lazim juga, yakni berakhir pukul 10.00 pagi. Padahal lazimnya, izin diberikan jam 8 pagi sampai jam 12 siang, atau bahkan lebih panjang lagi.

Jika waktu harus berakhir jam 10, tentu saja harus dimulai sejak jam 6. Jika dimulai jam 6, tentu saja harus berangkat jam 2-4 dini hari dari rumah. Dengan demikian, sudah ada peserta yang sampai di GBK jam 3 dini hari. Nah, antara jam 3 sampai jam 6, peserta mau diapain? Mau disuguhi musik dangdut seperti lazimnya kampanye? Tidak mungkin ‘kan? Satu-satunya yang mungkin (dilakukan) ya Tahajud, Subuh berjamaah, dan sholawat.

Jadi, kalau ini disebut tidak lazim adalah karena adanya ketidaklaziman izin yang diberikan. Coba andaikan izinnya lazim-lazim saja, yakni jam 8 (pagi) sampai 12 (siang). Saya berani jamin, tidak akan ada Tahajud dan Subuh berjamaah dalam run down acara.

Kedua adalah definisi inklusif. Belum dipahami, SBY mengatakan tidak inklusif tentu saja adalah dengan adanya Tahajud, Subuh berjamaah, dan sholawat. Disebut tidak inklusif, karena memang non-Muslim tentu tidak bisa berpartisipasi ikut Tahajud, Subuh, dan sholawat. Namun, setelah itu panitia sudah menyiapkan acara dan panggung untuk orasi, serta doa oleh agama lainnya

Tapi coba kita balik sekarang. Jika kampanye yang lazim dan inklusif itu adalah yang ada dangdutnya, maka kita juga perlu mempertanyakan. Apakah benar dangdut inklusif? Saya ingin mengatakan bahwa dangdut itu tidak inklusif. Tidak semua pihak bisa berpartisipasi dalam dangdut. Misalnya, para ulama, ustadz, ibu-ibu, dan Muslim taat.

Berarti, dangdut tidak inklusif ‘kan? Berarti panitia kampanye dangdut juga tidak peka terhadap perasaan orang lain yang tidak bisa ikut dangdut? Rasanya sah-sah saja, karena banyak rakyat suka dangdut.

Oleh karena itu, saya ingin mengatakan kepada semua orang, apa yang dimaksud dengan lazim dan inklusif itu? Jangan di satu pihak kampanye dangdut adalah lazim dan inklusif, sedangkan sholat dan sholawat dianggap tidak lazim dan tidak inklusif. Ini sangat tidak fair bagi umat Islam yang juga mayoritas di negeri ini, dan termasuk logical fallacy.

Oleh: Emir Sadikin