Opini  

Bu Dayu dan Taksu Pemikat Warga Dunia

Pemikat Warga Dunia

Delay sudah menjadi nama lain dari maskapai ini ?? Pemikat Warga Dunia membuat muncul ragam inisiatif untuk membuat penantian pesawat ke Bali menjadi menarik. Saya memilih berbincang dengan Bu Dayu asal Denpasar yang baru saja berlibur menemui cucunya di Jakarta. Waktu menunggu menjadi asyik karena cerita tentang perkembangan cucunya juga cerita anaknya yang lama tinggal di Jogja karena sebelum menetap di Jakarta, ia berkuliah di Jogja.

Kalau kita menghayati, maka Bu Dayu dapat menjadi “Dayuisme” yakni pemahaman baru tentang manusia yang tidak lagi ekslusif milik daerahnya, karena dalam sebuah anggota keluarga, entah orang tua, anak atau cucunya telah menjadi ‘pelancong’ dan warga tetap di daerah lain. Maka, tentulah ia akan merasa nyaman, kalau ada penerimaan yang inklusif di daerah anak-cucunya belajar, berdagang/bekerja, atau bermukim.

Dalam konteks ke-Indonesia-an menjadi penting. Agar kita tidak justru mengoyaknya di satu daerah, karena akan juga punya potensi berdampak langsung ataupun tidak kepada anggota keluarga kita di daerah lain.

Daya Pikat Bali

Bali, dikenal mayoritas warga dunia dengan daya pikat pulau “Seribu Pura” yang juga populer disebut the Paradise Island. Tentu, kunjungan wisata para pemimpin ragam belahan dunia dari mulai Raja Salman hingga Presiden Barack Obama menjadi bukti empiris terkini popularitas Bali sebagai the living monument.

Dalam titik pandang saya ada beberapa faktor taksu (daya magis pemikat) yang membedakan tempat ini dibandingkan lokasi lain di seluruh dunia:

Pertama, tempat ini secara elok dapat memautkan dengan harmonis antara kelimpahan upacara, kesenian, dan pemandangan hijau.

Kedua, praktik kultural Kehinduan yang khas Bali. Prof Ng Poerbatjaraka menyebutnya sebagai tempat penyimpanan warisan budaya “agung” yang berasal dari Majapahit. Kata Hildred Geertz, apa yang filosofis di telatah Jawa dahulu menjadi praktik kultural Bali kini.

Ketiga, realitas adiluhung tersebut menjadikan pulau ‘kecil’ ini sangat ‘luas dan lapang’ hingga mampu mewadahi anak segala bangsa, agama, dan warna untuk berdatangan dan berkumpul di satu telatah Bali dari sekedar refreshing, berdagang, hingga hadir untuk komunikasi dan diplomasi antar elit di fora internasional atau varian kepentingan lainnya.

Inilah tiga faktor taksu Bali yang menjadikannya aset terbesar Indonesia di bidang pariwisata yang membuatnya berkontribusi besar memasok pundi keuangan negara dari sektor pelesiran. Saya bahkan, berani menyebut Bali secara de facto adalah “ibukota” pariwisata Indonesia.

Label dan Wacana yang Membelah

Fakta (1) harmoni ritual-seni-alam; (2) kultur kehinduan yang khas; (3) kelapangan mewadahi kebhinekaan bangsa-agama-warna, itu terjaga harmonis, hingga peristiwa bom Bali terjadi.

Itulah momen dimulainya ujian bagi eksistensi tiga taksu yang pada mulanya harmonis menjadi disharmoni. Muncul wacana sosial akut yang entah disengaja atau tidak, menyatulinikan etnis Jawa dan orang Islam dengan satu ‘label’: “pendatang”.

Baca Juga : Intoleransi Jelas Bukan Kepribadian Bali, Bukan Jiwa NKRI, Bukan Warisan Bung Karno

Wacana berbasis sentimen etnis-agama yang membelah masyarakat ini kemudian tetiba bersaing popularitasnya dengan promosi pariwisata Bali. Wacana tersebut yang kemudian mendasari langkah-langkah vulgar dalam konteks sosial kemasyarakatan yang justru bukan bersama mengobati luka, namun menaburinya dengan garam.

Kita perlu waspadai labelling dan wacana pembelahan berlarut yang akan menjadi pembenaran pembakuan “dunia hitam-putih” dan oposisi biner (asli vs pendatang).

Kebhinekaan Penduduk Bali-Indonesia

Bali memang wilayah dominan Hindu, namun bukan berarti Bali identik dengan Hindu. Sama dengan ketika kita menempatkan Indonesia yang mayoritas umat Islam, tidak secara otomatis mengidentikkan dengan “Negara Islam”. Sebagaimana juga banyak warga Bali atau keturunan Bali yang bekerja, berdagang/belajar, atau bermukim di daerah lain di luar Bali. Seperti sosok Bu Dayu serta kisah anak-cucunya.

Maka, penerapan kearifan seperti rwa bhineda (pengakuan atas perbedaan), juga tat twam asi (dia adalah kamu) menjadi penting disegarkan lagi. Agar taksu Bali sebagai daya pikat kebanggaan Indonesia kepada dunia tidak memudar. Agar kenyamanan Bu Dayu yang anaknya pernah studi di Jogja lalu kini mukim di Jakarta dengan tentram juga menjadi kenyamanan semua Ibu-ibu di daerah lain se Indonesia.

Salam bersahabat untuk semua.

 

Opini, Arya Sandhiyudha, Ph.D, Dirangkai dalam serial kebangsaan seri 01