Opini  

Menyama Beraya, Karang Asem, dan Lawatan Anak Muda

Menyama Beraya

Akar kata Menyama Beraya Sempat kita ulas di serial kebangsaan 02: memaknai Nyama. Definisi Nyama adalah ‘saudara’. Sementara Beraya sebenarnya berasal dari bahasa Lombok. Sebab awalan bahasa Bali pasti Me, sementara Beraya adalah bahasa Lombok yang awalannya Be. ini adalah adopsi asimilasi bahasa Bali dan Lombok yang dikemas dalam konsep “Menyama Beraya” yang kira-kira maksudnya untuk menegaskan “kebersamaan dalam persaudaraan”.

Mungkin ada yang berfikir linear, apakah pernah terjadi ekspansi kerajaan Islam Lombok ke Bali? Justru secara faktual yang terjadi adalah penaklukan kerajaan Bali ke Lombok. Dimana akulturasi Lombok-Bali dan/atau penguatan persaudaraan Muslim-Hindu menjadi kebijaksanaan dan strategi kultural dari pemimpin Bali saat itu.

Adalah Raja Karangasem yang secara brilian menginisiasi akulturasi bahasa Bali-Lombok sebagai upaya mempersaudarakan antara Hindu dan Muslim. Inilah diantara simbol yang menjelaskan muasal kenapa Muslim Karangasem banyak terwaris pengaruh kebudayaan Sasak (Lombok), bahasa, kesenian, termasuk juga Rudat. Pada mulanya, ini adalah bagian dari agenda ekspansi Raja Bali ke Lombok kemudian terjadilah interaksi dan akulturasi.

Diawali sejak abad 16, saat kerajaan Gelgel era kepemimpinan Waturenggong (1460-1550) menerapkan pre-emptive strike terhadap kemungkinan hadirnya pengaruh Islam Demak di Bali. Waturenggong berturut-turut menguasai Blambangan (1512), Lombok (1520), hingga Sumbawa.

Lombok yang mayoritasnya Muslim ditaklukkan Gelgel awalnya dengan lawatan-lawatan politik raja. Diantaranya di Lombok Tengah, raja bertemu Datuk Pejanggih yang memiliki anak muda bernama Mas Pakel.

Sebagai tanda persaudaraan, Raja Bali mengundang Mas Pakel datang dan tinggal di Bali alias diangkat menjadi keluarga kerajaan Karangasem. Mas Pakel yang keren, ganteng, dan sangat santun membuat para putri-putri raja Bali sangat nge-fans. Sehingga konflik yang terjadi setelahnya sebenarnya bukan karena isu SARA atau sektarian, namun lebih karena banyak provokasi berbasis rasa iri terhadap Mas Pakel, namun menggunakan sentimen anti-Islam.

Maka, terlepas ragam versi tentang bagaimana kiprah selanjutnya dari Mas Pakel ini. Baik penaklukan Lombok I oleh kerajaan Gelgel era Waturenggong hingga penaklukan Lombok II oleh kerajaan Karangasem Bali era Anglurah Ketut Karangasem, jelas akulturasi Hindu Islam telah menjadi salah satu instrumen penaklukan sekaligus buah dari perluasan tersebut. Kemajemukan tidak hanya terjadi dalam level pertukaran bahasa, namun juga pertukaran anak muda dan intensitas interaksi antar penduduk.

Selain kisah Mas Pakel, ada pula setidaknya 4 pelajaran dari kisah hadirnya Muslim di 4 kampung Muslim di Karangasem. Pertama, Dangin Sme, awalnya adalah komunitas Muslim yang didatangkan Raja Karangasem, sekali lagi menjadi bukti kokohnya nilai akulturasi dalam mindset raja. Kedua, Kecicang sentra komunitas Islam terbesar di perkotaan, juga Karang Tohpati, Buitan dimana ketiga kantong Muslim ini rintisan keluarga KH Abdul Rahman, elit Muslim asal Lombok yang diutus Raja Karangasem.

Ketiga Saren Jawa, tidak berasal dari Lombok, namun dirintis utusan dari Raja Mataram, Kyai Jalil, seorang yang waktu itu sukses memberikan solusi bagi persoalan huru-hara di wilayah Sare sehingga dihadiahkan tajah pelungguhan oleh Raja. Keempat, Sindu, pasca Raja Karangasem menaklukkan kerajaan Selapang Lombok, dibawalah orang-orang ahli/pakar/sakti sebagai penjaga eksistensi kerajaan.

Kini, di Kabupaten Karangasem setidaknya terdapat 26 kampung Muslim. Seperti bukit Tabuan, Kampung Anyar, Karang Sasak, Tibulaka Sasak, Tihing Jangkrik, Karang Cermen, Nyuling, Ujung Pesisi, Ujung Sumbawa, Ujung Desa, Segara Katon, Dangin Sme, Bangras, Karang Langko, Kampung Ampl (termasuk Grambeng, Geria Tegeh), Karang Tebu, Jeruk Manis, Gelumpang Suci, Karang Sokong, Telaga Mas, Kedokan, Kecicang , Karang Tohpati, Buitan, Saren Jawa, dan Sindu.

Tantangan Menyama Beraya memang tidak hanya pada mayoritas Hindu, namun juga bagi ummat Muslim untuk mengonsolidasi diri dengan nilai tersebut. Bagaimana tidak mudah, karena ummat yang angkanya tidak lebih dari 16.000 hidup terpecah antar kampung, juga terpisah sekitar 50 komunitas, dan 60an mushola.

Belajar dari sejarah kampung Muslim Karangasem, juga secara nilai dasar Bali ataupun Indonesia sangatlah apresiatif dan membutuhkan ummat Muslim yang Solid sebagai komunitas, produktif melahirkan Elit Muslim, berpartisipasi menghadirkan tawaran Solutif bagi persoalan masyarakat, dan memiliki keahlian/kepakaran/kesaktian yang bermanfaat bagi Bali ataupun negara-bangsa.

Opini ditulis oleh Arya Sandhiyudha, Ph.D sebagai bagian dari serial kebangsaan seri ke 05.