Pejabat Publik PDIP Ditangkap KPK: Dari Walikota Cimahi hingga Mensos

Pejabat Publik PDIP Ditangkap KPK: Dari Walikota Cimahi hingga Mensos

Ngelmu.co – Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara menambah daftar panjang pejabat publik dari PDIP yang tertangkap oleh KPK.

Ia menjadi tersangka oleh atas dugaan suap dana bansos Covid-19. Juliari menjadi tersangka pada Ahad 6 Desember 2020, dini hari.

Tentu, ia bukanlah satu-satunya orang pertama dari partai yang berlambangkan banteng tersebut. Sebelumnya ada sejumlah politisi lainnya yang juga terjerat kasus korupsi.

Lantas, siapa sajakah pejabat publik dari PDIP yang tersandung kasus korupsi?

1. Andreau Misanta Pribadi

Kader dari PDIP yang pertama ditangkap adalah Andreau Misanta Pribadi. Ia terbelit kasus suap izin ekspor benih lobster yang menjerat nama Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

Andreau memang tak terjaring OTT oleh KPK. Namun, ia ditetapkan sebagai tersangka atas kasus ini. Keesokan harinya, usai KPK mengumumkan status tersangkanya, Andreau kemudian menyerahkan diri.

Sebelumnya, ia memang pernah menjadi caleg DPR pada pemilu 2019 lalu. Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah pun membenarkan hal ini. Namun, kini ia tak lagi aktif di partai tersebut.

2. Walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna

Dua hari berselang setalah OTT Edhy Prabowo, Jumat (27/11), KPK menangkap Walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna. Ajay yang menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Kota Cimahi ini, merupakan tersangka atas kasus dugaan terkait izin pembangunan penambahan gedung RSU Kasih Bunda.

Melansir dari laman Kompas, Ajay diduga meminta uang sebesar Rp 3,2 miliar kepada pemilik sekaligus Komisaris RSU Kasih Bunda Hutama Yonathan untuk mengurus izin tersebut. KPK menduga Ajay telah menerima Rp 1,661 miliar dari uang yang dijanjikan tersebut.

Atas perbuatannya, Ajay selaku penerima suap disangka melanggar Pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan atau Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan, Hutama selaku pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Bupati Banggai Laut, Wenny Bukamo

Melansir dari Detik, Wenny Bukamo (WB) ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penerima dari perusahaan rekanan Dinas PUPR Pemkab Banggai Laut. Suap tersebut diduga diterimanya untuk memenangkan rekanan tertentu agar kembali mendapatkan proyek pada dinas PUPR di Kabupaten Banggai Laut tahun anggaran 2020.

“WB selaku Bupati Banggai Laut diduga memerintahkan RSG (Recky Suhartono Godiman, orang kepercayaan WB) untuk membuat kesepakatan dengan pihak para rekanan yang mengerjakan beberapa proyek infrastruktur, di antaranya peningkatan sejumlah ruas jalan pada dinas PUPR Kabupaten Banggai Laut,” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango di gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta, Jumat (4/12/2020).

“WB juga diduga mengondisikan pelelangan di Kabupaten Banggai Laut dengan BM (Basuki Mardiono) selaku Kepala Dinas PUPR dan RHP selaku Kabid Cipta Karya Kabupaten Banggai Laut,” imbuhnya.

Wenny diduga mengatur agar beberapa rekanan mendapatkan proyek jalan. Wenny pun dijanjikan akan mendapat uang imbalan dari pemberian proyek tersebut.

“Untuk memenangkan rekanan tertentu dan agar kembali mendapatkan proyek pada Dinas PUPR di Kabupaten Banggai Laut tahun anggaran 2020, rekanan sepakat menyerahkan sejumlah uang sebagai bentuk commitment fee kepada WB melalui RSG dan HTO (Hengky Thiono),” kata Nawawi.

Komisi yang diberikan oleh beberapa rekanan, antara lain Hedy Thiono, Djufri Katili, dan Andreas Hongkiriwang, kepada Bupati Banggai Laut beragam. KPK menyebut Wenny mendapat uang Rp 200-500 juta.

“Melalui pengondisian pelelangan beberapa paket pekerjaan pada Dinas PUPR tersebut, diduga ada pemberian sejumlah uang dari beberapa pihak rekanan antara lain HDO (Hedy Thiono), DK (Djufri Katili), dan AHO (Andreas Hongkiriwang), kepada WB yang jumlahnya bervariasi antara Rp 200 juta sampai Rp 500 juta,” katanya.

Wenny pun mendorong agar pembayaran kepada tiga orang bos perusahaan rekanan tersebut dipercepat setelah pekerjaan selesai.

“Setelah pekerjaan oleh pihak rekanan sudah berjalan, WB meminta kepada BM selaku Kadis PU dan IT (Idhamsyah Tompo) selaku Kepala BPKAD agar mempercepat pencairan pembayaran beberapa rekanan tersebut,” katanya.

4. Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara

Sementara, Juliari ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan kasus suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek di tahun 2020. Juliari bersama tersangka lainnya, yakni Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wayhono (AW) selaku pejabat pembuat komitmen di Kemensos ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Kemudian, tersangka Ardian IM (AIM) dan Harry Sidabuke (HS) selaku pemberi suap.

Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat (4/12/2020) dini hari. Setelah pengumuman penetapan tersangka, KPK sempat meminta Juliari untuk menyerahkan diri. Juliari akhirnya tiba di Gedung KPK pada Ahad (6/12/2020) sekitar pukul 02.45 WIB.

Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan, konstruksi kasus ini berawal dari pengadaan paket sembako sebagai bansos penanganan Covid-19 dengan total 272 kontrak senilai Rp 5,9 triliun yang dilaksanakan selama dua periode. Kemudian, menurut KPK, Juliari menunjuk MJS dan AW untuk mengerjakan proyek tersebut.

“Dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS,” ungkap Firli saat konferensi pers, Ahad (6/12).

MJS dan AW kemudian mematok harga Rp 10.000 per paket sembako dari nilai satuan paket bansos sebesar Rp 300.000. MJS dan AW selanjutnya membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yakni, AIM dan HS selaku pihak swasta serta PT RPI yang diduga milik MJS. Penunjukkan PT RPI diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh AW.

Kemudian setelah fee terkumpul, Firli mengungkapkan uang diberikan secara tunai kepada Juliari.

“Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang lebih sebesar Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar,” tuturnya.

Baca Juga: Pernah Kritik Anies Baswedan Soal Bansos, Mensos Juliari Kini Jadi Tersangka Korupsi

Uang tersebut kemudian dikelola oleh EK dan SN selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Menteri Sosial tersebut.

Dari periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee sekitar Rp 8,8 miliar selama Oktober-Desember 2020. Uang itu juga diduga akan digunakan untuk keperluan Juliari.

Adapun Juliari disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.