Berita  

Tolak Sexsual Consent, Berikut Rilis Berbagai Organisasi

Tolak Sexsual Consent

Ngelmu.co – Berbagai pihak menyuarakan penolakannya terhadap ‘sexsual consent’, yang belakangan ramai dibicarakan. Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (ALPPIND), The Center for Gender Studies, dan PP Muslimat Hidayatullah (Mushida), menjadi tiga pihak yang sudah menyatakan sikap secara resmi.

ALPPIND

Surat yang dirilis ALPPIND, pada Rabu (23/9) kemarin, ditandatangani oleh sang ketua, Atifah Hasan.

“Menyikapi kontroversi mengenai ‘sexual consent’, dalam menekan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan masyarakat.”

Sebagai organisasi yang peduli terhadap keluarga, perempuan, dan anak negeri, ALPPIND, menyampaikan pandangan kritis sebagai berikut:

1. Indonesia adalah negara hukum berasaskan Pancasila. Di mana setiap pengaturan hubungan hukum antar manusia, ada yang dinyatakan secara tegas di dalam Undang-Undang, ataupun menjadi hukum yang hidup di masyarakat (living law).

Walaupun Indonesia, bukan negara agama, tetapi agama, menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

2. Ketika mendengar terjadi sosialisasi ‘sexual consent’, pada salah satu kampus di negeri ini, kami menganggap, bahwa hal tersebut, perlu ditelaah dan dikritisi.

Mengingat perihal ‘sexual consent’ ini, juga menjadi substansi muatan yang sama seperti dalam draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).

Di mana RUU tersebut, ditolak banyak pihak, karena paradigma utama yang melandasi pembentukannya, memandang perbedaan gender laki-laki dan perempuan, sebagai dua hal yang saling berlawanan, atau harus setara dalam semua hal.

RUU itu, juga menyebut, bahwa kekerasan seksual disebabkan budaya patriarkhi.

Selain itu, juga menekankan HAM, sebagai wujud kebebasan dalam penentuan sikap, termasuk terkait dengan hubungan seksual.

Namun, UUD 1945, Pasal 28 J, menyebut:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.”

3. Pendidikan seksual berbasis persetujuan–consent–yang menitikberatkan pada pemahaman suka sama suka, sangat tidak patut.

Bukan pencerdasan terhadap bahaya kekerasan seksual yang didapat, tetapi derasnya perbuatan perzinahan yang berujung pada kehancuran generasi bangsa.

4. Sexual consent–persetujuan dalam melakukan hubungan seksual–jangan diartikan sebagai kebebasan berkontrak.

Bahkan kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUHPerdata), dibatasi dengan syarat ‘Kecakapan’ dan ‘Suatu Sebab yang Halal’.

Melakukan hubungan seksual hanya dengan batasan persetujuan, tanpa paksaan, jelas bertentangan dengan Pancasila, hukum agama, atau living law.

Kitab UU Hukum Perdata yang berasal dari Barat saja, mengatur kecakapan dan sebab-sebab yang tidak halal, tak dapat menjadi alasan kebebasan berkontrak.

Bagaimana mungkin Indonesia, yang ber-Pancasila, menjadikan asas persetujuan, cukup menghalalkan suatu hubungan seksual, dan menyatakan tidak terjadi kekerasan seksual.

Cukuplah sudah, kerusakan moral di negeri ini, ketika zina hanya dilarang untuk mereka (atau salah satunya) yang telah terikat dalam perkawinan, dan tidak dilarang antara mereka yang tidak terikat dalam perkawinan (Pasal 284 KUHP).

Jangan ditambah dengan sexual consent, sebagai penghapus pidana kekerasan seksual, (jika RUU P-KS, di-sahkan).

Dalam perkawinan, pengaturan sexual consent dan pemberian hak penuh istri atas tubuhnya–my body is mine–tidak sesuai dengan konsep syariat Islam, yang mewajibkan istri, melayani suami, jika tidak ada halangan syar’i.

5. Pendidikan seksual, sepatutnya mendahulukan upaya pencegahan, yakni tindakan preventif, untuk mengatasi terjadinya kekerasan seksual, melalui kesigapan dalam mengidentifikasi, mengenali lebih awal tindakan yang mengarah pada perbuatan tersebut.

Sekaligus peningkatan iman, takwa, dan akhlak mulia. Fakta membuktikan, kekerasan seksual di negeri ini, tidak separah, dibandingkan dengan negara-negara lain. Mengapa?

Sebab, masyarakatnya masih mempertahankan ajaran agama, adat istiadat, dan Pancasila.

6. Undang-undang menjamin, keikutsertaan masyarakat, dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Maka dirasa perlu, untuk menegaskan kembali, bahayanya sosialisasi sexual consent. Menurut kami sebagai masyarakat, bukan solusi pencegahan kekerasan seksual.

The Center for Gender Studies

Senada dengan ALPPIND, The Center for Gender Studies, pun ikut bersuara.

Sebagai lembaga yang konsen melakukan kajian kritis Feminisme dan Gender, pihaknya merilis sikap resmi, lewat surat tertanggal 21 September 2020, berisi:

1. Pemahaman mengenai sexual consent sebagai ‘kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan kegiatan seksual’, sesungguhnya bersifat kontraproduktif, jika dijadikan asas pencegahan kejahatan seksual.

Sebab, pada hakikatnya, tubuh tidak memiliki tujuan akan dirinya. Sehingga setiap aktivitas seksual yang melibatkan dua tubuh, pasti sudah didasarkan kesadaran (daya kognitif), yang merasionalisasi kehendak (dorongan jiwa) untuk berhubungan seksual, sebagai dasar kesepakatan kedua pihak.

Akan tetapi, tingkat kesadaran masing-masing individu tersebut, akan berbeda, berdasarkan lingkungan dan pengetahuan seksualitas mereka.

Sehingga untuk perlindungan masyarakat secara global dan universal, diperlukan skema kontraktual legal yang mendahului ‘kesepakatan’, sebagai asas pencegahan kejahatan seksual.

2. Asumsi bahwa ‘manusia sepenuhnya berkuasa atas tubuh mereka sehingga otoritas tubuh mutlak sebagai asas sexual consent’, bertentangan dengan hakikat tubuh yang terikat dengan hukum sebab-akibat semesta.

Hal ini berkaitan dengan dualitas tubuh, sebagai entitas di alam, yang berperan sebagai sebab sekaligus akibat, atas segala keteraturan alam.

Dualitas tubuh juga terjadi, ketika manusia melakukan aktivitas seksual; dia bisa menjadi subjek sekaligus
objek, secara bersamaan (memegang sekaligus dipegang, misalnya).

Sehingga klaim bahwa tubuh sepenuhnya berkuasa atau menjadi subjek atas dirinya, secara hakikat, dibantah oleh pengalaman ketubuhan itu sendiri.

3. Pemahaman bahwa ‘consent bersifat reversible, sehingga dapat dibatalkan sewaktu-waktu’, tentu sangat bermasalah, jika dijadikan sebagai asas pencegahan kejahatan seksual.

Sebab, tubuh manusia secara hakikat, memiliki keterbatasan dalam mengelola respons fisiologis.

Tubuh akan menampilkan respons yang koheren, dengan hukum sebab-akibat, atas perlakuan yang diterimanya.

Dalam aktivitas seksual, hukum sebab-akibat, bekerja melalui otak yang memproses gambaran kebahagiaan dan kenikmatan individu, dalam bentuk fisik.

Proses tersebut, berjalan seiring perkembangan psikis dan fisik, selama berhubungan seksual.

Tubuh, secara alamiah akan terus menyetujui proses kognitif kenikmatan, sekalipun di tengah hubungan, ia ingin membatalkan persetujuan.

Dengan pengalaman tubuh seperti itu, menjadikan consent yang fluid sebagai asas kunci pencegahan kejahatan di tengah aktivitas seksual, menjadi mustahil.

Sebab, bertentangan dengan respons inderawi yang diberikan tubuh.

4. Kejahatan seksual merupakan perusakan sistemik atas keterbatasan pilihan dan pengalaman ketubuhan manusia, yang memengaruhi keseluruhan aspek kehidupannya.

Sehingga, untuk mencegah dan menangani permasalahan tersebut, diperlukan pendekatan yang melampaui aspek internal ketubuhan.

Melalui penghubungan pengalaman ketubuhan individu tersebut, dengan relasi di luar ketubuhannya.

Seperti etika keagamaan dan kebangsaan. Hanya dengan begitu, aktivitas seksual seseorang, dapat mencapai kesehatan serta kebahagiaan jiwa dan raga.

PP Mushida

PP Mushida, juga tegas menolak hal ini, lewat surat yang dirilis secara resmi, pada Rabu (23/9) kemarin.

Pihaknya, mengaku telah mencermati pemberitaan soal ‘sexual consent’, yang membuat banyak pihak mengaku tak bisa tinggal diam.

“Bahkan bagi sebagian lembaga atau ormas, ingin turut membahas, sekaligus memberi solusi atas permasalahan yang sedang terjadi.”

“Sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap masalah tersebut, maka izinkan, PP Mushida, menyampaikan pernyataan sikap.”

Berikut pernyataan PP Mushida, selengkapnya:

1. Pendekatan ‘sexual consent’, dalam materi tentang pencegahan perkosaan dan pelecehan seksual, serta berbagai jenis kejahatan seksual lainnya itu, selain merupakan pendekatan feminisme, juga memberi justifikasi untuk menerabas batas-batas norma agama dan budaya, bangsa Indonesia.

2. Pendidikan seks itu, mengajarkan mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang halal dan mana yang haram, dalam bingkai norma hukum serta agama.

Bukan sekadar consent–persetujuan–kedua belah pihak, yang menimbulkan sikap permisif terhadap perilaku seks bebas.

3. Materi pencegahan perkosaan dan pelecehan seksual di kampus, harus diberikan secara komprehensif, tidak boleh parsial.

Apalagi tidak berdasarkan norma hukum dan agama. Oleh karena itu, mengajarkan pendidikan seksual berdasarkan paradigma sexual consent–yang tidak dihubungkan dengan pernikahan–demi alasan menghindari kekerasan seksual, justru merupakan kejahatan seksual itu sendiri.

4. Islam adalah agama rahmatan lil a’lamin (rahmat bagi seluruh alam semesta). Dalam Islam, tidak ada kekerasan seksual, karena praktek seksual, hanya boleh dilakukan bagi pasangan suami istri yang sah, menurut hukum dan undang-undang.

Bagi suami istri, kegiatan seksual adalah sebuah ibadah yang bisa mendapatkan pahala, amal shaleh.

Suami diajarkan adab dan kesantunan terhadap istrinya, begitupun sebaliknya.

Maka dalam Islam, kegiatan seksual di antara pasangan suami istri, membingkai kodrat yang hakiki, sebagai manusia di hadapan Tuhan, dan juga masyarakat.

Baca Juga: Sexual Consent, Propaganda Kebebasan Zina

Sebelumnya, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA), dan Mantan Direktur Kemahasiswaan Universitas Indonesia (UI), Kamarudin, juga telah menyampaikan pandangannya masing-masing, terkait pendekatan sexual consent, yang masuk dalam program PKKMB UI 2020.

Selengkapnya: Sikap Mathla’ul Anwar atas ‘Masuknya’ Materi Sexual Consent di PKKMB

Baca Juga: Mantan Direktur Kemahasiswaan Benarkan soal Materi Sexual Consent di PKKMB UI