Lelaki yang Takut pada Rabbnya

 

Suatu hari, saat Umar ra berjalan bersama rombongannya tiba-tiba da seorang wanita yang mencegatnya dan memintanya berhenti. Umar ra pun berhenti, berdiri tegak menyimak perkataan wanita itu dengan seksama.

“Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), kemudian engkau dipanggil Umar, kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertakwalah engkau, hai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan (amal), maka ia pasti takut kepada siksa.”

Semua orang mengetahui bagaimana keras dan nekatnya Umar pada masa jahiliah. Setelah masuk Islam, ia tak kehilangan ketegasan dan keberaniannya, namun yang sangat berbeda justru ia menjadi orang yang penuh kasih sayang karena besar rasa takutnya pada Allah.

Ia adalah umar ra, yang mematikan lampu di ruangannya saat berbincang-bincang selain urusan Negara. “lampu ini dan minyak untuk menghidupkannya dibiayai oleh Negara, jadi tidak benar jika digunakan untuk kepentingan pribadi”

Ia adalah Umar ra, pemimpin tertinggi kaum muslimin waktu itu yang tak bisa tidur nyenyak sebelum memastikan tak ada satu pun rakyatnya yang kelaparan atau menderita. Ia masuk ke gang-gang sempit, gurun yang sepi penduduk untuk meninjau keadaan mereka.

Hampir tengah malam, perapian di sebuah kemah masih menyala dengan tangis anak-anak kecil yang tak kunjung reda. Ternyata mereka sekeluarga bukan hanya kedinginan dan kelaparan. Sang ibu yang sendirian itu, mengelabui anak-anaknya dengan merebus batu dalam periuk agar anak-anaknya tertidur dan tak merengek menagih makanan yang tak mereka punyai. Perempuan itu mengeluhkan kepemimpinan umar di depan umar sendiri, karena tak tahu. Segera bergegas Umar ra ke baitulmal, memanggul sendiri tepung, minyak dan aneka bahan makanan lain di pundaknya. Umar sendiri pula yang mengadoni hingga jadi roti dan menyuapkannya untuk anak-anak yang terlanjur lapar itu.

Umar menolak bantuan asistennya untuk membawakan karung makanan tadi, karena ia takut tak bisa mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya di hadapan Allah pada hari perhitungan kelak.

Ia adalah umar ra, yang membebaskan Palestina dengan diplomasi unta. Datang sendiri berjalan kaki dan naik unta bergantian dengan seorang pembantunya dari Mekkah menuju baitul Maqdis. Ia tak datang dengan pasukan bersenjata, ia juga tak banyak kata menjelaskan konsep perdamaian dan perlindungan atas rakyat dalam Islam. Ia jadi teladan pertama dan utama dalam semua sifat kebaikan bagi rakyatnya.

Suatu hari seorang anak pejabat memukul rakyat biasa dengan zalim dan mengatakan “berani-beraninya kamu melawan putra orang terhormat”.

Rakyat biasa itu mengadukan perbuatan tak adil itu pada umar ra. Umar bukan hanya menyuruh orang tersebut mmebalas pukulan anak pejabat itu dengan setimpal, namun juga memerintahkan sang pejabat untuk dipukul karena putranya itu tidak akan bersikap arogan jika bukan karena ayahnya memegang kekuasaan.

“Sejak kapan kalian memperbudak manusia sedangkan mereka lahir merdeka sejak dilahirkan oleh ibu mereka ”.

Umar hanya takut pada Allah, ia takut pada pejabat lain yang punya kekuasaan, tak takut kehilangan popularitasnya. Juga tak takut intimidasi pihak kemanan hanya karena membela kebenaran dan bersikap adil.

Banyak sahabat dan orang di sekitar Umar yang menyaksikan betapa lingkaran di sekitar mata Umar menghitam sejak ia diangkat menjadi pemimpin umat, saking seringnya ia menangis di hadapan Tuhannya.

“Kalau ada unta atau keledai yang terperosok di wilayahku karena aku lalai menutup lubang di jalan, maka sesungguhnya Rabbku akan memintai pertanggungjawaban dariku”

Bukan hanya atas urusan manusia yang menjadikan Umar bersungguh sungguh atas amanahnya, tapi juga kesadaran atas pertanggungjawaban seluruh makhluk hidup, bahkan tanah, air dan gunung.

Maka berbahagialah manusia yang memiliki pemimpin yang besar rasa takutnya pada Sang maha Pencipta. Karena selain pada penciptanya, ia tak jadi pengecut.

Rasa takut yang besar pada Sang maha kuasa menjadikannya bersungguh sungguh melaksanakan amanah kepemimpinan. Bukan karena ingin popularitas atau elektabilitasnya naik, tapi karena ia sadar bahwa ia akan berdiri di hadapan Rabbnya menjalani hisab atas setiap detik waktu, kesehatan, kekuatan, kewenangan dan setiap uang negara yang diamanahkan padanya untuk dikelola.

Ia tak akan menukar akhirat yang abadi dengan dunia yang sementara lagi fana ini. Ia tak mencari dunia dengan menjual akhiratnya.
Karena ia sadar benar adzab Allah bukan bualan belaka, sebagaimana setiap orang akan mendapat balasan atas apa yang dilakukannya: meski sebesar debu atau yang lebih kecil dari itu.

Tidak ada yang bisa menipu Allah, percayalah. Manusia biasa seperti kita tak mampu melihat hati seseorang, maka kita cukupkan menilai dzahirnya saja. Apa yang diucapkan, maka itulah yang harus dipertanggungjawabkan.

Tapi mereka yang mengatakan ” saya hanya takut pada Allah” untuk melakukan tipu daya dan mengambil keuntungan duniawi : maka sungguh mereka sedang menantang Rabb semesta alam. Maka biarlah Allah bertindak langsung atas perbuatannya.

Orang yang mengimani hal ini akan bergetar karena tahu konsekuensi atas ucapan ini …

Ninin Kholida