Di masa-masa awal dakwah Islam dahulu masjid menjadi tempat pertemuan kaum muslimin, baik untuk melaksanakan shalat berjamaah ataupun untuk membahas berbagai persoalan kehidupan yang lain. Saat itu masyarakat muslim seluruhnya sangat terbuka. Semua masalah, yang tidak terbilang rahasia dan urusan pribadi, disampaikan kepada pimpinan untuk dijadikan pertimbangan sebelum diputuskan dalam sejumlah masalah penting dan punya pengaruh jelas bagi kemaslahatan jamaah.
Masyarakat terbuka ini sangat bersih, tidak ada yang menyimpan keburukan kecuali dari kalangan orang-orang yang berkonspirasi terhadapnya atau orang-orang yang ingin menyerang salah satu prinsipnya. Biasanya mereka ini dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang yang menjauhkan diri dari jamaah lalu “berbisik-bisik” dan “kasak kusuk” secara terselubung.
Mereka yang “berbisik-bisik” ini menjauhkan diri dari jamaah dan qiyadah untuk melakukan rencana rahasia. Semua orang mengetahui bahwa Allah melarang “bisik-bisik” ini di dalam salah satu firman-Nya:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka…”. (an-Nisa’: 114)
Hikmah dari larangan ini -wallahu a’lam- agar tidak terbentuk ”kantong-kantong” di dalam jamaah dan agar tidak ada kelompok-kelompok yang memisahkan diri dengan berbagai persepsi dan persoalannya, atau pemikiran-pemikiran dan kecenderungan-kecenderungannya. Atau agar tidak ada sekelompok orang dari jamaah ini yang melakukan rencana rahasia untuk menentang jamaah. Sekalipun rencana itu disembunyikan dari jamaah, tetapi mereka tidak dapat menyembunyikannya dari Allah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah:
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka dimana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (al-Mujadilah: 7)
Ada sebagian kaum muslimin yang jiwa mereka belum memiliki kepekaan amal Islami lalu mereka berhimpun ketika terjadi polarisasi masalah, untuk “berbisik-bisik” diantara mereka dan bermusyawarah sendiri tanpa sepengetahuan qiyadah. Padahal tindakan ini tidak sejalan dengan karakter jamaah Islamiyah dan spirit amal Islami yang mengharuskan semua pendapat, pemikiran dan usulan disampaikan kepada mas’ul. Komunitas-komunitas sempalan ini tidak boleh ada di dalam jamaah, karena bisa menimbulkan kekacauan di dalam barisan atau menyakiti jamaah sebagai satu kesatuan, sekalipun orang-orang yang “berbisik-bisik” itu tidak bermaksud menyakiti. Tetapi dengan mereka memunculkan masalah-masalah yang ada dan menyampaikan pendapat-pendapat dan solusi-solusi di dalam jamaah tanpa sepengetahuan, bisa jadi hal ini mengakibatkan kelompok ini telah menyakiti dan tidak taat. Karena itu, Allah menyeru orang-orang beriman agar meninggalkan “bisik-bisik” dan menjauhinya. Firman Allah:
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan”. (al-Mujadilah: 9)
Kritik yang benar disampaikan lewat mas’ul dan menunggu jawaban darinya tanpa menggerutu dan menggerundel apabila jawaban belum kunjung tiba, karena pada dasarnya kritik harus disampaikan demi mengharap ridha Allah kemudian kemaslahatan jamaah, tidak dengan tujuan agar pendapatnya diikuti dan dilaksanakan.
Allah melarang kita menebar berbagai pembangkangan, mengkritik berbagai ijtihad jamaah di lingkungan orang-orang beriman, dan membentuk opini khusus yang bertentangan dengan pendapat jamaah.
Allah melarang berbisik- bisik dan melakukan pembicaraan rahasia menyangkut urusan mereka tanpa sepengetahuan jamaah. Setan menggoda orang-orang yang berbisik-bisik agar mengkhianati jiwa saudara-saudara mereka dengan berbagai keraguan dan keresahan. Firman Allah:
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman berduka cita…”. (al-Mujadilah: 10)
Banyak pengalaman membuktikan bahwa “berbisik-bisik” itu bisa menjauhkan seseorang dari jalan dakwah, kita berlindung kepada Allah. Ia menjadi tahap awal bagi orang yang akan hanyut terbawa arus fitnah, baik ia menyadari hal tersebut atau pun tidak.
Semoga Allah merahmati Umar bin Abdul Aziz yang mengatakan:
“Tidaklah suatu komunitas “berbisik-bisik” jauh dari jamaah mereka melainkan mereka sedang membangun kesesatan”.
Ketahuilah, semoga Allah memberimu pemahaman yang benar, bahwa majlis-majlis orang-orang beriman itu hanya bertujuan meningkatkan keimanan melalui sarana saling menasehati. Ibnu Rawahah ra pernah menarik tangan Abu Darda’ ra sambil berkata kepadanya: “Mari kita meningkatkan iman sejenak”. Kemudian keduanya saling mengingatkan masalah keimanan, mengenalkan cara-cara taubat, saling memerintahkan sedekah, berbuat kebaikan, atau upaya mendamaikan manusia.
Ini berarti tidak ada larangan bagi orang baik untuk bertemu orang baik lalu berkata kepadanya secara rahasia: Mari kita bersedekah kepada si Fulan karena saya tahu dia sedang membutuhkan. Atau, mari kita melakukan kebaikan, atau memotivasi orang untuk melakukannya. Atau, mari kita damaikan antara si Fulan dan si Fulan karena saya tahu antar keduanya ada perselisihan.
Itulah bisik-bisik orang-orang beriman. Yakni bisik-bisik dengan kebaikan dan untuk melakukan kebaikan. Bisa jadi terbentuk komunitas orang-orang baik untuk melaksanakan kebaikan-kebaikan ini dan bersepakat secara rahasiau untuk mendapatkan pahala. Ini tidak dilarang, karena sesuai apa yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang-orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. (an-Nisa’: 114)
Itulah persimpangan jalan atau perbedaan antara perbuatan yang dilakukan seseorang lalu Allah meridhainya dan perbuatan yang dilakukann seseorang lalu Allah memurkainya dan menulisnya di dalam catatan keburukan. Kita memohon kepada Allah semoga melindungi kita dari berbagai keburukan dan dosa dan menunjukkan kepada kita kebenaran itu benar lalu mengaruniai kita kemampuan untuk mengikutinya dan menunjukkan kepada kita kebatilan itu batil lalu mengaruniai kita kemampuan untuk menjauhinya.
Segala puji milik Allah robbul alamin.
Diterjemahkan dari “Mamarrat al-Haq”, Dr. Raid Abdul Hadi, 1/175-176, oleh:
Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.