Pandangan Berbahaya Tentang Halalnya Seks di Luar Nikah

Tentang Halalnya Seks di Luar Nikah

Ngelmu.co – Pandangan tentang halalnya seks di luar nikah, jelas berbahaya. Disertasinya adalah hasil studi tentang pandangan Dr. Syahrur asal Syiria, lalu sekolah di Rusia, jurusan ilmu batu, lalu ilmu tanah.

Anehnya, berambisi jadi ahli pemikiran Islam, yang tidak dikuasainya, kecuali dari bacaannya sendiri, karena dia pandai berbahasa Arab.

Makanya, Imam Al-Ghazali berkata dalam Ihya Ulumuddin, “Orang yang mempelajari Islam tanpa guru, maka dia belajar dengan syaitan”.

Pandangan Berbahaya Tentang Halalnya Seks di Luar Nikah

Berbahaya, karena tokoh yang dikaji pemikirannya adalah tokoh yang tidak kompeten dalam berpendapat, apalagi berijtihad tentang hukum Islam.

Berbahaya, karena term yang dikaji adalah tema tentang hukum yang sudah ditetapkan hukumnya secara paten, tetap dan absolut, tidak dikritisi dan ditolak.

Kecuali orang yang bodoh terhadap Islam, atau mengingkari ajaran Islam.

Karena term haramnya seks di luar nikah adalah term qath’iy yang sudah ditetapkan oleh Alquran, As-Sunnah, Ijma, dan Qiyas.

Berbahaya, karena masalah milkul yamin atau halalnya budak di masa awal Islam adalah masalah yang jelas dan qath’iy bahwa halalnya milkul yamin berdasarkan empat sumber Islam itu.

Sehingga hukum halalnya berakhir, juga dengan berakhirnya perbudakan di dunia Islam.

Bahwa Islam telah menghapus perbudakan yang wanitanya halal berhubungan seks tersebut, secara bertahap sampai terhapus total saat ini.

Berbahaya, karena milkul yamin tidak dapat di-qiyaskan atau di-analogikan dengan perkawinan masa jahiliyah, model syi’ah dan budaya di eropa dalam kehidupan kontemporer sekarang.

Di mana bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, yakni nikah al-muttah, nikah al-muhallil, nikah al-‘irfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, nikah al-musakanah (samen leven).

Nikah-nikah sejenis ini, sekarang umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, di mana Syahrur hidup lama di sana.

Nikah halal secara syar’i adalah nikah dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah disepakati oleh Ulama Ahlu Sunnah waljamaah yaitu adanya Wali, Mahar, Saksi, akad, dan kedua mempelai.

Wallau a’lam.

Oleh: Khairan Arif, Dekan FAI-UIA