PDIP Tolak Raperda Depok Sebagai Kota Religi

Ngelmu.co – Rancangan peraturan daerah (Raperda) inisiatif Permerintah Kota Depok tentang Penyelenggaraan Kota Religius (PKR) telah ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok. Terkait rancangan tersebut, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki suara yang cukup vokal untuk menolak rencana peraturan daerah tersebut.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke Allo, Raperda itu resmi ditolak dalam Badan Musyawarah DPRD Kota Depok untuk masuk ke dalam daftar Program Legislasi Daerah. Dengan demikian, segala pembahasan yang berakaitan dengan Raperda tidak mungkin dilakukan lagi di setiap alat kelengkapan Dewan.

Menurutnya, ada banyak hal yang dipertimbangkan pihaknya menolak rancangan Perda yang dikomandoi oleh Wali Kota Depok, Mohammad Idris. Alasan PDIP menolak Raperda itu adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak mendelegasikan urusan agama untuk diatur oleh Pemerintah Daerah. Baginya, urusan agama adalah kewenangan absolut Pemerintah Pusat.

“Kalau kita bicara agama maka kewenangan itu bukan milik pemerintah daerah tapi kewenangan pemerintah pusat. Karena kaitannya dengan pertahanan keamanan, fiskal moneter, kemudian ada beberapa lagi. Sehingga pemerintah daerah tak memiliki hak untuk membahas itu,” katanya saat dikonfirmasi Jumat 17 Mei 2019.

Kemudian, kata Hendrik, ada alasan yang tak kalah penting mengapa pihaknya menolak Perda tersebut, dikarenakan agama merupakan masalah yang bersifat pribadi, juga berkaitan erat dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dengan demikian, bukan kewenangan Kota untuk mengatur kadar religius keagamaan warganya.

“Perda PKR memiliki potensi diskriminatif baik terhadap umat beragama dan terhadap kaum perempuan. Perda ini juga memiliki kecenderungan untuk mengkotak-kotakkan warga Kota Depok yang sangat plural (majemuk).”

Seperti diketahui, Pemerintah Kota Depok mengusulkan Raperda tentang Penyelenggaraan Kota Religius yang intinya ingin mengatur warga Kota Depok dalam menjalankan agama dan kepercayaannya, termasuk cara berpakaian.

Ia juga mengungkapkan, bahwasanya penolakan tersebut tak hanya disuarakan oleh partainya, melainkan ada sejumlah partai lainnya yang disepakati dalam Badan Musyawarah DPRD Kota Depok.

“PDI Perjuangan berpandangan bahwa negara, dalam hal ini Pemkot Kota Depok, berkewajiban untuk memastikan bahwa setiap umat beragama memiliki kebebasan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya, dan menjaga toleransi antar umat beragama. Namun Pemerintah Kota tidak bisa mengatur keagamaan warganya,” tutur Hendrik.

Dalam hal perilaku warga, lanjut Hendrik, Pemkot Depok bisa membuat aturan dalam kerangka ketertiban umum dan kemaslahatan kehidupan bersama, bukan dalam kerangka pahala dan dosa atau surga dan neraka.

“Intinya kami menghindari konflik antar umat beragama. Maka peran pemerintah mereka harus tampil, bagaimana semangat kebangsaan toleransi di Kota Depok ini bisa terjaga di tengah pluralisme yang begitu besar. Ini bisa menimbulkan diskriminasi terhadap keberagaman pemeluk agama dan itu tidak boleh,” ujarnya.