Opini  

Sistem Zonasi Sekolah ala Jepang

Ngelmu.co – Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan terkait penerapan sistem zonasi pendaftaran peserta didik baru menuai perdebatan. Tak sedikit pihak yang merasa keberatan dengan keputusan tersebut. Terlebih kualitas serta fasilitas sekolah di Indonesia belum merata.

Sebagian besar wali murid mengaku kecewa, karena anaknya tidak bisa duduk di sekolah impian, karena peraturan ini.

Bahkan, tak sedikit yang menitikkan air matanya, saat sang anak harus merelakan bangku sekolah, demi anak lain yang nilainya di bawah anak-anak mereka.

Hal ini membuat Yesi Elsandra, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Jepang, menceritakan seperti apa dan bagaimana sistem zonasi yang selama ini sudah diterapkan negeri matahari terbit tersebut. Ia membagikan kisahnya melalui akun Facebook pribadinya.

“Jepang adalah salah satu negara terbaik yang menerapkan sistem zonasi. Wajib belajar di Jepang 9 tahun, yaitu 6 tahun di SD dan 3 tahun SMP.

Tidak ada kehebohan yang berarti, yang terjadi pada orangtua, menjelang tahun ajaran baru. Karena semua anak akan diterima di sekelah negeri yang terdekat dari rumahnya. Tidak ada anak dan orangtua yang gigit jari, karena tidak kebagian kursi sekolah.

Sistem Informasi Kependudukan sudah berjalan sangat baik. Setiap penduduk, baik penduduk asli maupun pendatang, akan terdata seluruh identitasnya, termasuk penghasilannya.

Sebagai pendatang, pada tahun 2017, kami dikejutkan oleh kedatangan surat dari pos yang ditujukkan kepada anak kami (saat itu berusia 6 tahun). Tertulis nama anak kami, bukan nama kami orangtuanya.

Rupanya, surat itu berisi informasi bahwa di tahun ajaran 2017, anak kami harus sekolah di SD negeri Morinosato, kurang lebih 300 meter dari apartemen kami.

Kami pun datang ke sekolah yang dimaksud, dan rupanya sekolah sudah mengetahui akan kehadiran kami, dari pemerintah. Mengapa sistem zonasi tidak mengalami gejolak dan penolakan dari masyarakatnya?

1. Semua Sekolah sama Standar Kualitasnya

Tidak saja proses belajar mengajarnya yang dibuat sama standarnya, tetapi fasilitas fisik gedung pun sama. Misalnya, semua sekolah punya lapangan olahraga yang sama ukurannya. Semua memiliki kolam renang, gedung serbaguna, loker sepatu dan tas, meja serta kursi belajar, papan tulis magnetik, dan toilet pun sama baiknya.

Bahkan, soal ulangan pun semua dibuat sama, dengan kertas HVS 80 gram, full warna. Anak-anak tertarik dengan gambar yang berwarna. Jarang sekali ada soal multiple choice.

Jika melihat fasilitas fisik gedung dan juga fasilitas belajar mengajarnya, maka tidak salah jika Jepang menjadi negara maju. Karena kualitas pendidikan sangat diprioritaskan oleh pemerintahnya.

2. Guru di-Rolling

Saya melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana profesionalnya guru mengajar, dan bertanggungjawab terhadap tugasnya. Bahan ajarannya pun banyak, retorika mengajarnya juga tidak membosankan. Mereka kadang bekerja hingga malam untuk mempersiapkan keperluan proses belajar mengajar.

Seluruh guru memiliki kompetensi mengajar, sehingga bisa dikatakan tidak ada guru yang bekerja asal asalan. Para guru dan juga kepala sekolah, di-rolling ke semua sekolah. Jadi, tidak ada guru di sekolah sini bagus, sedangkan di sekolah sana tidak bagus.

3. Infrastruktur Sangat Mendukung

Orangtua tidak akan cemas melepas anaknya yang baru berusia 6 tahun berjalan kaki sejauh 1-2 kilometer ke sekolah, karena tersedia jalan khusus untuk pejalan kaki. Jika ada penyebrangan, akan ada lampu merah yang berfungsi dengan baik, yang juga ditaati oleh seluruh pengendara.

Sekolah di Indonesia bisa menduplikasi kegiatan open class seperti sekolah di negeri Jepang. Di mana orangtua boleh masuk ke kelas, melihat proses belajar mengajar secara langsung.

Tidak terlihat sedikit pun Guru grogi, ketika puluhan orangtua memperhatikan. Saya akui, mereka sangat profesional sebagai Guru!”

Ditulis Oleh: Yesi Elsandra, Kanazawa-Jepang