Alasan Sri Sultan HB IX Larang Etnis China Miliki Tanah di Yogyakarta

Sri Sultan HB IX

Ngelmu.co – Mengapa almarhum Sri Sultan HB IX, melarang warga keturunan Tionghoa, China, untuk memiliki tanah di Yogyakarta? Rasanya, hal ini perlu dijelaskan kembali, setelah mahasiswa UGM keturunan China, Felix Juanardo Winata, menggugat UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), karena dinilai diskriminatif.

Etnis China Lebih Memilih Membantu Belanda

Aturan terhadap Etnis China yang hanya diperbolehkan memiliki Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan, memang masih berlaku sampai hari ini.

Namun, kita perlu mengetahui sejarah lengkap, di balik lahirnya aturan tersebut.

Semua berawal di tahun 1948, saat bangsa sedang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah mencatat, etnis Tionghoa, lebih memilih membantu pasukan Belanda, yang saat itu ingin kembali menjajah Indonesia.

Mereka memutuskan untuk tidak ikut berjuang, bersama elemen bangsa lainnya, yang hendak mengusir Belanda.

Peristiwa ini, dalam sejarah, dicatat sebagai Agresi Militer II Belanda, pada Desember 1948.

Komunitas Tionghoa yang ada di Yogyakarta, berpihak dan memberikan dukungannya untuk Belanda, yang jelas-jelas telah menjajah Indonesia, selama 350 tahun.

Sosok Sri Sultan HB IX Dikenal Merakyat

Bagi warga DIY yang sudah berusia di atas 50 tahun, pasti tahu jika Raja Kesultanan Yogyakarta, Kepala Daerah DIY, mantan Wakil Presiden RI, pejuang dan pahlawan negara, juga merupakan ayah dari Sri Sultan HB X, yang saat ini memerintah.

Almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX , dikenal sebagai pemimpin yang sangat merakyat. Maka, tak heran jika ia pun begitu dicintai rakyatnya.

Sri Sultan HB IX, sering blusukan ke pasar-pasar, bukan untuk mencari dukungan. Ia melakukan itu, karena ingin membantu warga miskin.

Diketahui, sejak lahir, almarhum memang sosok yang kaya dan terhormat, maka jelas, ia tak butuh pencitraan.

Ia juga memiliki peran besar dalam memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan RI.

Cinta Rakyat kepada Sri Sultan HB IX

Bersama Bung Karno, Sri Sultan HB IX, berinisiatif memindahkan ibu kota ke Yogyakarta, untuk mempertahankan kemerdekaan.

Membangun gedung Istana Negara di Yogyakarta (sampai sekarang masih ada gedungnya, disamping Malioboro, seberang Benteng Vredeburg).

Sejarawan pun mencatat, almarhum, beberapa kali ditawari menjadi Presiden, tetapi tidak mau.

Ia hanya sekali menjadi Wapres (di zaman Soeharto), itu pun hanya satu periode. Setelah itu, tak lagi mau dipilih.

Kecintaan warga DIY terhadap almarhum pun tinggi. Ketika wafat di tahun 1988, sepanjang jalan dari Keraton hingga Imogiri Bantul (tempat pemakaman), dipenuhi pelayat.

Lebih dari 500 ribu pelayat yang hadir di sana, membuat Guiness Book Of International Record mencatat, peristiwa itu sebagai jumlah pelayat terbanyak di dunia.

Koran dan media besar nasional pun menjadikannya sebagai topik bahasan utama, ‘Perginya Pemimpin Besar, Pembela Rakyat nan Sejati’.

Sri Sultan HB IX merupakan sosok yang sangat humanis, tak pernah membeda-bedakan.

Tegas untuk Urusan Kebijakan

Namun, untuk urusan kebijakan di pemerintahan, ia sangat tegas. Salah satunya, mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis Tionghoa di Yogyakarta.

Di tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas Tionghoa akan eksodus dari Yogyakarta.

Namun, Sri Sultan HB IX, masih berbaik hati, menenangkan mereka yang telah berkhianat kepada negeri, dengan tetap diakui sebagai tetangga.

“Tinggal-lah di Jogja, tapi maaf, saya cabut satu hak Anda, yaitu hak untuk memiliki tanah,” tuturnya, seeprti dilansir Nusantara Kini.

Baca Juga: Dokumen Bocor, Terungkap Cara China Kelola Kamp di Xinjiang: Tak Ada Belas Kasih

Itulah mengapa, hingga saat ini, pengusaha Tionghoa, tak bisa punya hak milik atas tanah di berbagai pusat bisnis, di DIY.

Mereka hanya bisa memiliki hak guna atau hak pakai, dengan jumlah tahun tertentu. Aturan ini diperkuat pada 1975.

Surat Instruksi Paku Alam VIII

Paku Alam VIII, menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan wali kota, yang masih berlaku sampai hari ini, untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara non-pribumi.

Mereka diizinkan untuk memiliki tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik (SHM).

Jika sebelumnya tanah merupakan milik pribumi, kemudian dibeli warga keturunan, maka dalam jangka waktu tertentu, status kepemilikan tanah itu akan beralih menjadi milik negara.

Sebelum mahasiswa UGM, kalangan investor dan cukong, sudah beberapa kali menggugat aturan itu.

Dengan dalih rasis dan tidak adil, para penggugat meminta dan mendanai LSM untuk menggugat.

Namun, Mahkamah Agung tetap tidak mengabulkan, karena hal itu merupakan bagian dari keistimewaan Yogyakarta.

Sri Sultan HB IX yang visioner, seolah tahu bagaimana cara mencintai dan menjaga negerinya.

Pemimpin berkharisma, tidak ambisi dengan kekuasaan dan harta, mencintai rakyatnya dengan tulus; bukan karena pencitraan, dan hidup penuh kesederhanaan.