George Floyd, Simulacra, dan Paradoks Demokrasi AS

George Floyd Simulacra AS

Ngelmu.co – Tangan kanan Donald Trump, begitu cepat bergerak. Ia menggoreskan tanda tangan di atas dokumen sangat penting, disaksikan para staf-nya. Sebuah keputusan kontroversial resmi berlaku, 27 Januari 2017 silam.

Isinya mengenai pengungsi dan para pengunjung dari negara-negara mayoritas Muslim.

Perintah ini, membatasi masuknya pengunjung dari Suriah, dan enam negara mayoritas Muslim lainnya, selama 90 hari.

Keenam negara lainnya adalah Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.

Disebutkan bahwa selama setidaknya satu bulan—30 hari—pemerintah AS, akan membatasi pemberian visa, bagi warga dari Suriah, dan enam negara tersebut.

“Saya sedang mengambil langkah-langkah pemeriksaan baru, untuk membuat para teroris Islam radikal, menjauh dari AS. Saya tidak menginginkan mereka di sini,” kata Trump, di Pentagon.

Pasca kebijakan rasis tersebut, sebuah masjid di Texas, terbakar. Belum ada pernyataan resmi penyebab kebakaran itu.

Namun, selama ini, masjid tersebut menjadi sasaran kebencian terhadap Muslim AS.

Selain itu, aksi unjuk rasa juga merebak. Mereka menentang keputusan tersebut, karena dianggap sebagai anti demokrasi dan kemunduran besar.

Sesaat setelah Donald Trump, terpilih sebagai presiden—November 2017—kerusuhan merebak di negeri Paman Sam.

Mulai dari Washington, District of Columbia, New York, Minneapolis, Texas, Chicago, Boston, Philadelphia, Los Angeles, San Francisco, dan sebagainya.

Sejumlah kendaraan serta fasilitas umum, rusak di kawasan pantai barat dan timur AS. Mereka menentang keras terpilihnya Donald Trump.

Tiga tahun berselang, sosok kulit hitam bernama George Floyd, tewas.

Lehernya ditindih lutut polisi AS yang menangkapnya. Pasca itu, protes merebak. Lalu meledak kerusuhan di banyak negara bagian AS. Penjarahan di mana-mana.

Tarik mundur jauh ke belakang. Peristiwa tragis berbau rasial terjadi di Waco, Texas, 15 Mei 1916.

Jesse Washington, pemuda kulit hitam berusia 17 tahun, yang punya keterbatasan mental, diputus bersalah atas kasus pemerkosaan dan pembunuhan, terhadap perempuan kulit putih bernama Lucy Fryer.

Vonis diambil, setelah 12 juri—semuanya kulit putih—bersepakat mengambinghitamkan Jesse, dalam perundingan yang berlangsung kurang dari lima menit.

Pengadilan Wilayah McClennan, menghukum mati Jesse, atas kesalahan yang tak dilakukannya.

Saat persidangan selesai, Jesse, ditangkap sekelompok orang yang telah berkumpul di luar gedung.

Lehernya dirantai, tubuhnya diseret, dan diarak menuju alun-alun Robinson, yang menjadi tempat kematiannya.

Sepanjang perjalanan, massa terus mencaci Jesse, ‘Hajar Negro itu!’, ‘Habisi dia!’.

Tak sampai di situ, Jesse yang dipukul dengan sekop dan batu bata, dimutilasi, dan akhirnya digantung.

Jesse, dibakar di hadapan 15 ribu pasang mata penduduk Waco. Massa yang membunuhnya? Tertawa puas.

‘Waco Horror’, begitu orang menyebutnya. Menjadi salah satu potret gelap sejarah Paman Sam, ketika sentimen rasial mampu menghilangkan akal sehat, dan mendorong manusia melakukan tindakan barbar.

Baca Juga: Selama Ini Kuncian Lutut Mematikan juga Dialami Palestina, Tapi Mengapa Dunia Diam?

Melihat wajah AS hari ini, kita bisa mengatakan, demokrasi sedang menghadapi puncak paradoksnya.

Rasisme tak pernah sirna. Ironisnya, itu terjadi di negeri yang selama ini mengklaim sebagai kampiun demokrasi.

Negara yang oleh banyak orang di Indonesia, dipuja-puja sebagai kiblat demokrasi.

Mengapa bisa terjadi?

Salah satu jawabannya mungkin ada pada sosok Jean Baudrillard (1929-2007), pemikir post-strukturalisme yang memperkenalkan konsep dunia simulasi.

Menurutnya, beragam tampilan bercitra indah, dihadirkan di pentas seolah nyata, tetapi sejatinya sarat rekayasa.

Dalam dunia simulasi semacam ini, berlaku hukum simulacra, yaitu ‘daur ulang atau reproduksi objek dan peristiwa’.

Objek atau peristiwa itu, diperagakan seakan sama, atau mencerminkan realitas aslinya, tetapi sesungguhnya maya atau hanya fantasi.

Kata Baudrillard, “Sungguh, sulit memperkirakan hal-hal yang nyata aslinya, tetapi sesungguhnya maya.”

Sebaliknya kata dia lagi, “Sungguh, sulit memperkirakan hal-hal yang nyata dari hal-hal yang menyimulasikan yang nyata itu.”

Baudrillard, mencontohkan media massa yang menurutnya lebih banyak menampilkan dunia simulasi, yang bercorak hiperrealitas.

Suatu kenyataan yang dibangun oleh media, tetapi seolah benar-benar realitas.

Media tidak lagi mencermirkan realitas, bahkan menjadi realitas itu sendiri.

Klaim AS, sebagai kiblat demokrasi selama ini, bisa jadi sebuah realitas semu. Ia hanya pencitraan dan permainan propaganda.

Jauh sebelum Trump, kritikan terhadap standar ganda AS, juga kerap disuarakan.

Hari ini, Trump, menjadi puncak dari paradoks demokrasi AS, yang diakibatkan dari politik simulacra.

Wajah demokrasi AS, hancur lebur. Tak ada lagi yang patut dibanggakan. Sangat naif jika masih saja di antara kita, mengidolakan demokrasi di AS.

Sebab, semuanya hanya semu. Sebatas simulacra.

Oleh: Jurnalis, Erwyn Kurniawan