Amien Rais: Jokowi Mengaktifkan Reseptor Ekspansionisme Cina

Amien Rais Jokowi Cina

Ngelmu.co – Tokoh reformasi yang terkenal vokal, Prof Amien Rais, Kamis (13/8) lalu, menyampaikan semacam ‘pledoi’ politik; sebagai tanggapan terhadap kebijakan Presiden Jokowi. Acara berlangsung di komplek kuliner Nusa Dua, Senayan.

Tokoh politik yang tak pernah ‘kapok’ ini, memberikan judul pledoinya, ‘Pilihan Buat Pak Jokowi: Mundur atau Terus’.

Pak Amien, menamakan pledoi politik ini sebagai ‘Risalah Enteng-entengan’.

Tapi kontennya sangat berat. Inilah serangan politik dengan ‘lethal weapons’ (senjata maut).

Risalah ringan Pak Amien ini, berisi 13 poin. Beliau menyebutnya ‘bab’.

Di antara ke-13 bab itu, ada beberapa poin penting yang secara kolektif berisi kesimpulan bahwa, sengaja atau tidak, Presiden Jokowi, telah mengaktifkan reseptor untuk ambisi ekspansionisme Cina, atas Indonesia.

Reseptor itu besar jumlahnya. Pak Amien, memperkirakan ada sekitar 10 juta ‘cell’, dan semua sangat ‘compatible’ (cocok) dengan virus kolonialisme Cina.

Pak Amien, tampaknya tidak berlebihan. Reseptor ekspansionisme Cina, yang berjumlah 10 juta itu, sudah lama mendominasi Indonesia.

Mereka menguasai bisnis, matarantai produksi dan distribusi, juga menjadi pemain utama ekspor-impor.

Dominasi ekonomi itu membuat jutaan reseptor memiliki kesempatan untuk menguasai percaturan politik Indonesia.

Mereka mampu mendikte para pemegang kuasa di semua cabang kekuasaan; eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Di bab ke-6 dengan judul ‘Tunduk pada Mafia, Taipan, dan Cukong’, Prof Amien Rais, menulis bahwa para penguasa negeri lebih fokus melayani para mafia, taipan, dan cukong.

Bahkan, kata penggerak Reformasi 1998 ini, mereka itu berlindung atau dilundungi oleh kekuasaan.

Dalam kenyataannya, tidak-lah keliru ketika Pak Amien, mengatakan bahwa mereka bisa mengendalikan para penguasa untuk meloloskan rencana jahat di banyak aspek kehidupan nasional.

Di poin sebelumnya, bab 4, Pak Amien, menguraikan tentang gaya otoriter yang sekarang di-adopsi oleh Jokowi.

Semua orang terperangah. Orang baik (good guy) bisa berubah menjadi ‘tangan besi’.

Pak Amien, menyebutnya dengan istilah ‘sosok populis yang bersubstansikan otoritarianisme’.

Tetapi menurut Pak Amien, Jokowi, menerapkan kekuasaan otoriter untuk membungkam rakyat.

Guna menumpas kritik dan protes. Sedangkan terhadap kelompok-kelompok yang diperlukan, dia cenderung ramah atau protektif.

Paparan di bab 5 tentang pertumbuhan subur oligarkhi adalah yang sangat menarik.

Sekelompok elite, kata Pak Amien, pada hakikatnya memegang kekuasaan besar, sampai-sampai bisa mengontrol dan mendiktekan kebijakan pemerintah.

Kekuasaan otoriter adalah lahan subur oligarkhi; sehingga tak lagi terbatas dalam jumlah kecil, melainkan beranak-pinak menjadi ratusan orang.

Mereka ini, menurut Pak Amien, sengaja ‘dipelihara’ oleh rezim untuk menstabilkan situasi politik.

Uraian Pak Amien, tak dapat disangkal. Oligakrhi di Indonesia ini mengikuti teori piramida organisasional.

Posisi-posisi puncak piramida oligarkhi, ada di tangan beberapa penguasa; baik yang kuat di pemerintahan dan secara finansial.

Namun, ada lagi lapisan oligarkhi di bawahnya yang diberi kesempatan untuk menikmati bayaran besar.

Mereka itu jumlahnya, sesuai pelacakan sejumlah lembaga, mencapai lebih 350 orang yang memegang posisi-posisi penting di institusi bidang hankam.

Oligarkhi kelas menengah ini di-tempatkan di meja-meja basah ratusan BUMN.

Baca Juga: Ulil Abshar Soroti PKS yang Lakukan Tradisi NU

Bagian yang paling menohok di dalam risalah enteng-entengan Pak Amien, adalah bab 1.

Mantan Ketua MPR ini, blak-blakan menyebut Jokowi, sebagai pemecah belah bangsa.

“Tak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik di masa Jokowi, telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.”

Pak Amien menyimpulkan, kecurigaan dan ketakutan Jokowi, terhadap sikap kritis umat Islam, sangat nyata terlihat.

Di bagian yang menjelaskan tentang nepotisme yang selama ini dianggap tak akan mungkin dilakukan oleh Jokowi, Prof Amien Rais, mengecam dukungan Jokowi, dalam pencalonan anaknya di Pilkada Solo dan menantunya di Pilkada Medan.

Keluarga presiden ikut pilkada, memang tidak melanggar konstitusi. Tetapi sangat jelas melanggar etika kepemimpinan, menurut Pak Amien.

Apa yang menjadi masalah? Prof Amien Rais, terlalu lama menyadari bahwa etika tidak lagi menjadi tuntunan.

Sebab, kekuasaan terlalu gurih untuk diganggu oleh zat penetral yang disebut etika.

Oleh: Wartawan Senior, Asyari Usman