Debat Pendiri Bangsa soal Papua

Debat Pendiri Bangsa soal Papua

Ngelmu.co – Debat pendiri bangsa soal Papua. Wilayah di ujung timur negeri ini, kerap memantik silang pendapat, sejak dulu hingga sekarang. Ketika para pendiri bangsa merancang luas wilayah Indonesia, debat alot bergaung saat membahas Papua.

Rekaman perbincangan ini, tercatat dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10-11 Juli 1945.

Suara yang menyetujui masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia, didahului oleh Kahar Muzakkar, wakil dari Sulawesi Selatan. Pendapatnya dilandasi pertimbangan pragmatis.

Namun, dia tetap menghargai rakyat Papua. Apabila ingin bergabung, bergabunglah secara sukarela.

“Biarlah yang tinggal di Papua, (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita, hilang dengan sia-sia belaka,”.

Tuturnya, seperti tercatat dalam Risalah Sidang BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei-19 Agustus 1945.

Rumusan Konsep Indonesia Raya

Mohammad Yamin, salah satu anggota yang lain, menguraikan pendapatnya yang cukup panjang. Dia merumuskan konsep Indonesia Raya yang terbentang.

Meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Sabah dan Sarawak), Malaya, Timor Portugis (kini Timor Leste), hingga Papua.

Menurut Yamin, secara historis, politik, dan geopolitik, wilayah-wilayah tadi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Soal Papua pun demikian.

“Papua adalah wilayah Indonesia,” kata Yamin.

Menurutnya, posisi Papua sebagai pintu gerbang kawasan Pasifik sangat menentukan secara geopolitik.

“Sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlu-lah pulau Papua seluruhnya dimasukkan ke dalam Republik Indonesia,” ujar Yamin.

Merupakan seorang ahli hukum dan pakar sejarah, Yamin juga mengikat Papua dengan gagasan historisnya. Bahwa di masa lalu, Papua merupakan vassal (daerah penaklukkan) kerajaan Tidore di Maluku.

“Sebahagian dari pulau Papua adalah masuk lingkungan dan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia,” kata Yamin.

Dengan dalil itu, maka jelas sudah alasan untuk memasukan Papua ke dalam kekuasaan negara Indonesia.

Keesokan harinya, sidang masih berlanjut dengan agenda pembahasan yang sama. Mohammad Hatta memajukan usulan yang berlainan dengan konsep Yamin.

Gagasan “ilmiah” Yamin, agak kurang masuk akal bagi Hatta. Khusus untuk Papua, Hatta tidak sepakat memasukan wilayah ini ke dalam Republik Indonesia.

Hatta Lebih Memilih Malaya

Menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, Hatta lebih memilih Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai keseluruhan Indonesia.

“Sekiranya bagian Papua itu ditukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur,” kata Hatta.

“Karena, seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih daripada tanah air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda.” lanjutnya.

Mengenai Papua, Hatta mengatakan bahwa orang Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu.

Menurut perhitungannya, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua, menjadi bangsa yang merdeka.

Sehingga bagi Hatta, adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri, atau biar ditangani saja oleh Jepang.

Soekarno lalu datang menyampaikan suara yang senada dengan gagasan Yamin. Menurut Soekarno, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan.

Mengutip kitab Negarakertagama (yang dibuat cendekiawan Kerajaan Majapahit, Mpu Prapanca pada 1365), Soekarno menyatakan bahwa sejatinya kekuasaan Kerajaan Majapahit melebar hingga ke pulau Papua.

Debat Pendiri Bangsa soal Papua Tak Terhindarkan

Gagasan Yamin dan Soekarno tampaknya mendapat banyak dukungan dari kebanyakan anggota. Silang gagasan pun tidak terhindarkan.

Tokoh senior, Agus Salim, dari kalangan Islam dan Soetardjo yang mantan anggota Volksraad, prihatin menyaksikan perdebatan.

Mereka mengingatkan, agar persoalan Papua jangan sampai jadi bahan pertikaian pendapat.

“Pada hari yang lain kita boleh membicarakan soal Papua, tetapi untuk sekarang, untuk sementara waktu, hendaknya kita tunda saja soal Papua,” kata Soetardjo.

“Tuan Ketua, satu kali terlepas dari tangan kita, nanti Papua itu menjadi benda pertikaian menjadi benda perselisihan antara saudara-saudara,” lanjutnya.

Pun demikian dengan Alexander Maramis, anggota dari Manado, yang menganjurkan agar menunggu sikap penduduk Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua untuk bergabung dengan Indonesia.

Untuk memecahkan kebuntuan, Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara. Ada tiga opsi untuk dipilih sebagai wilayah negara Indonesia:

1. Seluruh Hindia Belanda;

2. Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua;

3. Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara, minus Papua.

Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi nomor 1 memperoleh 19 suara, opsi nomor 2 memperoleh 39 suara, opsi nomor 3 memperoleh 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara.

Pilihan Akhir Debat Pendiri Bangsa soal Papua, Jatuh ke Suara Terbanyak

Pada akhirnya, gagasan kesatuan Yamin dan Soekarno memperoleh suara terbanyak. Konsep inilah yang kemudian diterima sebagai wilayah Indonesia Raya, dari Sabang sampai Merauke.

Sementara usulan Hatta, dimentahkan dalam forum karena mendapat suara paling sedikit.

Menurut sejarawan Belanda, Pieter Drooglever, penentuan masa depan Papua yang dirembug dalam forum BPUPKI bukanlah wadah yang representatif.

Pasalnya, tak ada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan suaranya di sana. Dilibatkan pun tidak.

Wakil Papua baru tampil sebagai delegasi setahun kemudian, dalam Konferensi Malino, perundingan yang diselenggarakan pihak Belanda.

Mayoritas para anggota BPUPKI berasal dari Sumatera dan Jawa. Satu-satunya wakil dari kawasan paling timur adalah Johanes Latuharhary yang berasal dari Ambon.

Kepentingan kaum Republikan sangat mendominasi. Hatta merupakan satu-satunya tokoh yang bersikap rasional soal Papua.

“Semua ini merupakan pilihan-pilihan yang interesan, yang di dalam dasawarsa mendatang, tetap akan membuat gejolak dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk sementara hasilnya sedikit saja,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

Mufakat pendiri bangsa dalam BPUPKI itu, nyatanya tetap menyisakan debat di kemudian hari. Ketika Indonesia merdeka, Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, yang wilayah ampunya sampai ke Papua.

Namun, Latuharhary tidak pernah berada di Papua menjalankan pemerintahan.

Belanda keburu datang untuk berkuasa kembali. Belanda tetap bercokol di Papua, bahkan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949.

Sengketa panjang Belanda dengan Republik Indonesia pun dimulai.

Oleh: Martin Sitompul