Surau dan Berisik Anak-Anak

Ngelmu.co – Dulu sekali, di rumah kakek di Jawa Timur, tiap menjelang Maghrib, banyak teman-teman tetangga pesantren usia sekolah dasar, berdatangan ke Surau, untuk salat jemaah, bahkan menginap, untuk mengikuti acara rutin.

Seperti zikir bersama habis salat Maghrib, membaca dan setor hafalan Qur’an, membahas kitab Safinatunnajah dan kitab lainnya, setor hafalan do’a, hingga di-akhiri dengan main petak umpet.

Paginya, mereka pulang dan melakukan aktivitas seperti makan pagi, mandi, dan sekolah. Istilahnya ‘santri kalong’.

Kami, anak-anak senang dan menanti-nanti sore tiba, untuk kembali datang ke Surau.

Bahkan ada seorang teman yang ngumpet-ngumpet datang ke Surau, karena ibunya keberatan, jika ia menginap dan mengaji bersama kami.

Tetapi ia tetap bersikukuh untuk datang, walau untuk itu, harus mendapat omelan ibunya.

Mengapa senang ke Surau?

Karena kami bisa bercanda bebas dengan teman-teman sebaya. Setor hafalan sambil colek-colekan dan diledek jika salah.

Bahkan yang lagi setoran, sempat-sempatnya ngebales ledekan juga. Boro-boro tegang.

Semua dilakukan sambil bercanda. Kakek dan nenek saya hanya tersenyum dan berkata, “Sudah… sudah, kalau teman lupa diingatkan, bukan diledek,” sambil tersenyum, bahkan ikut ketawa kalau ngeledeknya lucu. Sekali lagi, sambil tersenyum.

Apalagi jika acara bebas, kami main petak umpet, dan permainan tradisional lain seperti lompat tali, egrang, sabet-sabetan sarung yang sudah dipelintir, dan benteng.

Kadang juga bola kasti yang bolanya dibuat dari janur kelapa.

Rame, berisik, dan ribut?

Tentu. Berisik banget. Tapi kakek membiarkan, kecuali ada anggota keluarga yang sedang sakit, maka kami tidak diizinkan main yang menimbulkan suara.

Kami bisa memilih main kartu, congklak, atau karet.

Sungguh saya sering tersenyum jika mengenang ini. Makanya teman-teman sebaya saya dulu, pasti bisa baca Al-Qur’an.

Hafal doa-doa dan surat-surat penting sepert Yasin, Al Mulk, dan surat-surat pendek.

Mengapa? Karena kami betah di Surau. Menanti-nanti waktu ke Surau bersama-sama.

Jadi, kalau musala dan masjid harus selalu tenang dan bebas dari teriakan anak-anak, bagaimana anak-anak kita akan betah di sana?

Jika salat harus selalu sepi dari suara anak-anak, kapan mau mengajarkan anak-anak mencintai salat dan mengaji?

Lalu teringat ketika pertama kali salat di Masjidil Haram. Betapa kagetnya saya, ketika kita begitu berebut tempat, bahkan ketika sujud, ada yang menyenggol kepala kita.

Tetapi kita tetap khusyuk, dan sangat menikmati salat kita. Di situ saya memahami bahwa ternyata Khusyuk itu, tidak harus di suasana yang sepi dan syahdu.

Tidak harus ya.

Walau suasana sepi dan syahdu seperti ketika qiyamullail, sangat berpotensi untuk salat yang khusyuk.

Baca Juga: Doakan Anak Kita

Semoga para kiai, ustaz, dan semua yang punya kewenangan di masjid dan musala, bisa lebih sabar dan menikmati ketawa serta teriakan anak-anak di masjid.

Belajar mempersepsi teriakan dan bercandaan anak-anak, bak syair indah, karena itu artinya masjid kita kelak akan lebih makmur.

Sebab, kita semua tentu menginginkan anak-anak kita lebih betah di masjid, daripada di mall.

Oleh: Dewi Yulia