Ulama dari Betawi itu Bernama KH Abdullah Syafi’i

Ulama dari Betawi

Ngelmu.co – Kenyamanan seringkali indah pada zahirnya, tapi petaka dampaknya. Tidak heran hal tersebut kerap jadi taktik andalan orang-orang yang hendak bermain-main dengan kebenaran. Kita dapati kenyataan itu sedemikian gamblang terjadi, ketika ulama dan para cendekiawan muslim telah diberikan fasilitas-fasilitas nyaman, hingga mereka keluar dari khitah yang semestinya. Tidak semua memang, tapi tidak sedikit jumlahnya. Perisitwa seperti ini mengingatkan saya pada sesosok ulama dari Betawi yang Allah berkahi perjuangan dan pendidikannya.

Ulama dari Betawi
Ulama dari Betawi

Berkah perjuangan yang mengakibatkan namanya harum dikenang, bahkan diabadikan jadi sebuah jalan yang selalu ramai, terletak di antara Terminal Kampung Melayu dan Casablanka. Berkah tarbawiyah, yang membuat lembaga pendidikan binaannya menjamur dan berdiri hingga sekarang: Pendidikan Assyafi’iyah. Lembaga yang melingkup segala usia pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

Ulama dari Betawi Bernama KH Abdullah Syafi’i

Beliau adalah Kyai Haji Abdullah Syafi’i, lahir tanggal 10 Agustus 1910, di kampung Bali Matraman, Manggarai, Jakarta Selatan. Beliau mempunyai kedekatan dengan para penguasa, bahkan kedekatannya mengejawantah sokongan riil terhadap kegiatan pendidikan yang dibina. Tidak seperti kebanyakan manusia yang tumbang prinsipnya begitu didesah kenyamanan. Saat syariat atau kebenaran berusaha dilecehkan, Kyai Dullah (begitu ia biasa dipanggil), gagah berdiri melawan kesewanangan terhadap kebenaran.

Pernah Ali Sadikin, Gubernur Jakarta ketika itu, hendak melegalkan perjudian dan prostitusi demi meningkatkan pendapatan pajak daerah. Alih-alih kenyamanan meninabobokan ulama karismatik tersebut, justru sebaliknya. Kyai Dullah mengajak para sahabatnya, menggalang kekuatan, dan membuat petisi untuk membatalkan kebijakan tersebut. Akhirnya kenyataan menyadarkan kita bahwa kekuasaan politik lebih berdampak daripada suara para ulama, kebijakan yang bertentangan dengan syariat tetap dilaksanakan.

Meski demikian kenyataannya, Allah telah menunjukkan pada umat di masa itu, juga (pesan moral tersebut) diabadikan untuk umat setelahnya. Bahwa hambanya yang mulia itu, telah berjuang keras meninggikan syariat Tuhan. Mengambil risiko, mempertaruhkan kenyamanan untuk memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Kini berlalu puluhan tahun sejak kematian beliau pada tanggal tiga September 1985, tepat saat usianya 75 tahun. Jasadnya telah terpendam lama, menyatu bersama tanah. Namun nama beliau, jejak perjuangan, jejak pemikiran, jejak pendidikan, nasihat, dan hal lain dari beliau, masih hidup di tengah-tengah kita. Jadi nasihat berharga dari kehidupan, bahwa perjuangan dalam kebenaran dan keikhlasan bakal berumur panjang, jauh lebih panjang dari pengembannya. Lain hal dengan kebatilan yang dijanjikan kepunahannya. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Quran:

وَقُلْ جَآءَ الْحَـقُّ وَزَهَقَ الْبَا طِلُ ۗ اِنَّ الْبَا طِلَ كَا نَ زَهُوْقًا

“Dan katakanlah, Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’: Ayat 81)

Dari sahabatmu, Qalam.